Mencari Kritikus Seni Rupa Sulawesi Utara Yang Asli Oleh Arie Tulus.
"Nyanyian Gitar IV. Digital Art, Arie Tulus 2011
Satu pertanyaan yang hingga
saat ini masih melingkar lingkar di kepala saya adalah: “Apakah di Sulawesi
Utara ada atau tidak seseorang yang bisa menempatkan dirinya sebagai “suhu”
yang benar-benar dapat mengkritisi atau mengulas ulas karya cipta seni rupa
para “Seniman” di ujung utara pulau Sulawesi ini ?
Bahwa akhir-akhir ini muncul sosok
yang menamakan diri sebagai Mata Rupa Kritikus Seni di media social, dan yang
bersangkutan memberanikan diri ikut masuk bergabung di group HIPMA (Himpunan
Pelukis Manado), dan Group Seniman Sulawesi Utara.
Kehadiran si Mata Rupa
Kritikus Seni (MRKS) yang hingga saat ini masih bikin penasaran campur benci, marah
dan mungkin rindu dikalangan perupa Sulut untuk mengetahui siapakah sebenarnya dia
dalam hal ini telah melakukan pukulan halus atau telak bagi mereka-mereka yang sesungguhnya
punya potensi besar dan layak menempatkan diri sebagai seorang kritikus atau
katakanlah kurator yang tidak sembarangan. Apalagi kita sama-sama tahu di
daerah ini memiliki sebuah lembaga dan penghuninya yang tidak sekedar
bersilabus/berkurikulum tentang teori seni, filsafat seni bahkan boleh dikata
menguasai ilmu tentang seluk beluk kritik seni ?
Penulis tidak memuji bahkan
tidak pula mengagung agungkan si MRKS yang tiba-tiba
muncul ditengah tengah gegap gempita membludaknya mereka yang menamakan diri
sebagai “Seniman” di daerah nyiur melambai ini dengan karya-karyanya yang
memang pantas pula di damping oleh sosok yang tidak sekedar memberi jempol akan
tetapi bisa memberikan pencerahan bagaimana sesungguhnya menghasilkan sebuah
karya seni rupa yang memang pas sesuai ukuiran-ukuran atau pandangan ilmu estetika.
Tapi disini setidaknya pantas
juga penulis memberikan apresiasi kepada MRKS karena yang bersangkutan pada
kenyataannya telah bersedia tampil sekalipun cara mengulas, mengkritisi mungkin
dalam banyak pandangan yang ditujukan kepadanya masih kaku dan perlu tambah
wawasan.
Menarik juga jika membaca
serangan balik yang di tujukan kepada si MRKS yang hingga saat ini pula penulis
sendiri masih menebak nebak siapakah dirinya yang sebenarnya, karena masih
bersembunyi tak mau menuliskan identitasnya secara terang benderang?
Serangan balik yang dimaksud
seperti penulis kutip di percakapan FB Group HIPMA adalah sebagai berikut:
“ahk gk seru, kan lukisan yg
ditampilkan dsini byk, tpi kok hanya sedikit yg dibedah sm pak Mata Rupa
Kritikus Seni yah?? kami amat bersyukur gk repot" hrs bayar Kurator, dsini
kan ad kurator, please deh.. diulas dong smuanya, ms cm 1 yg lebih bagus dari
sisa cat di pallet.” Tulis Michael Palilingan.
Selanjutnya Denny Ramagiwa
Ratulangi menanggapi juga si MRKS seperti ini: “mata rupa kritikus seni, laki
atau perempuan, om ato tante, bapak ato ibu, itu masih belum jelas #Michael.
lantaran rupanya dia ini nda berniat utk menyatakan siapa dia sebenernya. pada
komentar" dalam salah satu postingan di grup seniman sulawesi utara, dia
ini mendadak masuk komentar memberi penilaian. saya bukan orang yg alergi
kritikan, karna menurut paham saya, kritikan dalam bentuk aapaun, pahit
sekalipun, itu sangat bernilai positif konstruktif, tentu bila kita menggunakan
paham positif. sayangnya dia ini enggan memperjelas diri meskipun saya telah
memohon dengan sebaiknya. jadi, bagaimana mungkin dia ini memberi penilaian tetapi
lupa atau tidak mau menggunakan matanya sendiri utk melihat memperjelas diri.
sementara itu torang semua telah membuka diri, nama asli, kegiatan sehari-hari
dsbnya. menanggapi dia ini, pikir saya mirip merespon angin yg tak berwujud.
tapi, mungkin nyaku keliru berpikir.
Jeffrey Sumampouw pelukis yang
tinggal menetap di Jakarta-pun angkat bicara: “Tak apa lha sang Mata Rupa
Kritikus Seni (MRKS) memakai nama samaran, atau bersembunyi di balik nama itu.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam postingan yang lalu, bahwa saya amat
menghargai upaya2 utk membangun apresiasi yg dilakukan oleh MRKS, namun hanya
sampai pada batas "Amatan" saja. Karena TIDAK ADA SEORANG KRITIKUS DI
ANTERO DUNIA YG MEMAKAI NAMA SAMARAN. Kritikan akan membentuk opini publik,
berarti sang Kritikus harus berani mempertanggung jawabkan kritikan dan opini
nya terhadap Masyarakat (pembaca) dan kepada Pihak (Obyek) yg ia kritik. Lalu
bagaimana ia mau mempertanggung jawabkan jika "sosok"nya saja tidak
jelas ??? Untuk ini, maka saran saya... biarkan saja MRKS "meng-amat-amat
ria" ... namun HANYA sampai pada batas "amatan" saja. Jika MRKS
kedapatan memasuki "Wilayah Kritisi" maka tolong Admin (Michael
Palilingan) MENGHAPUS KONTEN tsb. Selesai perkara !!!” (
Penulis sendiri ikut nimbrung
mempertanyakan diri si Mata Rupa Kritikus Seni ketika ia pertama kali hadir di
FB Group HIPMA sebagai berikut: “Siapakah si Mata Rupa Kritikus Seni itu ?
Sudah beberapa percakapan saya dan teman lainnya berharap kalau bisa anda
menampakkan diri saja secara terbuka, artinya tidak usah basambunyi kwa, karna
dengan begitu torang juga akan sama sama tahu dan paham. Selebihnya tidak akan
saling curiga satu sama lain dengan identitas yang tertutup ini. Di group besar
Seniman Sulawesi Utara saya lihat juga anda sudah dikeluarkan bahkan di blokir
? Sebenarnya itu tidak diharapkan terjadi karena kehadiran anda setidaknya akan
memberi nuansa greget jika peran anda sebagai seseorang yang bertindak sebagai
kritikus benar benar dalam posisi mengeritik karya atas dasar pengalaman
sekaligus berpijak pada ilmu seni yang anda geluti bahkan kemungkinan besar
semua pekerja seni itu juga sudah paham tentunya. Cuma kembali lagi pada
pertanyaan saya sebenarnya siapakah sesungguhnya diri Anda ? ini untuk
menghindar berbagai kecurigaan yang tidak mesti terjadi.”
Kehadiran si Mata Rupa
Kritikus Seni (MRKS) yang tak mau menggunakan nama aslinya sebenarnya tidak
masalah sejauh yang bersangkutan tidak bikin “onar”. Artinya masih dalam batas
batas perbincangan seni rupa sekalipun sejujurnya bagi penulis apa-apa yang
diulas atau disajikannya masih sebatas kulit yang perlu di dorong untuk masuk
lagi pada kupasan-kupasan dan kedalaman kritik yang lebih berarti.
Seandainya Torang samua
membenci, lalu setuju secara beramai-ramai, memukul keok sekaligus menendangnya
keluar dari group dan tidak lagi memberi kesempatan dirinya hadir? Lalu, apakah
para perupa Sulawesi Utara benar-benar butuh seseorang yang bisa mengkritisi
bahkan meludah dan mencaci maki karya-karya yang ditampilkan karena tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dalam berseni rupa yang kita
harapkan bersama? Atau ketika kita kabarkan kepublik karya karya seni rupa yang
kita hasilkan, ternyata hanya butuh klik jempol “like” seperti celoteh MRKS di
group HIPMA : “Kesenian itu butuh kritikan membangun ataupun menjatuhkan, bukan
sekedar pujian dan like terbanyak. Ada beberapa seniman sulut yang takut di
kritik denga alibi tidak mengenal MRKS dan itu FAKTA ! . jadi kalian itu kalau
pameran dan yang datang anak-anak SD yang masih polos dan jujur mengkritik
karya anda ? apa yang anda lakukan ?”
Sebagai perupa Sulawesi Utara mungkin
ini yang perlu juga di tanggapi secara arif, sambil bertanya dan menjawab
secara jujur ; Apakah kita sebagai perupa Sulawesi Utara memang butuh seorang
Kritikus Seni atau belum siap menanggung kritikan ? hehehe@rts.
Komentar
Posting Komentar