POTRET SEORANG GURU, PELUKIS, PENYAIR, BUDAYAWAN oleh Arie Tulus
Drs. Johny Rondonuwu (Alm)
POTRET SEORANG GURU, PELUKIS,
PENYAIR, BUDAYAWAN
(Mengenang 11 tahun
meninggalnya Johny Rondonuwu)
oleh Arie Tulus.
Jonrond. Begitulah singkatan
nama sekaligus merupakan sebuah tanda tangan yang tertera pada setiap
karya-karyanya yang berbentuk sketsa, lukisan, puisi, ataupun tulisan-tulisan
dalam bentuk karya ilmiah lainnya.
Bagi Seniman yang senang
bertopi ini, tidak ada sedikitpun waktu yang terbuang percuma. Semuanya diisi
penuh berbagai aktivitas dan kreatifitasnya. Kemanapun kakinya melangkah, sudah
pasti pena, dan kertas gambar ada bersama seorang lelaki gemuk yang lahir di
desa Sarawet Likupang kabupaten Minahasa Utara pada tanggal 16 januari 1955.
Mengapa alat-alat itu selalu
di bawanya kemana-mana ? Satu-satunya jawaban sederhana yang pernah terlontar dari
alumnus Sekolah Pendidikan Guru Kristen Kuranga Tomohon tahun 1973 ini adalah:
Sebagai alat perekan ketika berbagai inspirasi itu ada dan dating padanya
sewaktu-waktu”. Tak heran dari tangannya lahir begitu banyak karya sketsa, dan
puisi ketika ia berada di jalan, di kamar mandi, bahkan dalam keadaan sakit-pun
alat-alat tersebut ada di sisinya.
Semasa kuliah di jurusan Seni
Rupa dan Kerajinan Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Manado (sekarang FBS
Unima), anak sulung dari keluarga Rondonuwu Rawung ini terbilang hidup penuh
dengan kegelisahan. Dan untuk menyalurkan berbagi kegelisahannya itu, tahun
1977 bersama beberapa rekan yang ada di fakultasnya mendirikan SGM (Studi Group
Manado). Kelompok ini hingga tahun 1980-an di Sulawesi Utara terbilang cukup
terkenal dikalangan pekerja seni yang ada, karena di dalamnya selain Jonrond,
bercokol pula para Pelukis, Musisi, Sastrawan,
dan Dramawan kampus Kleak diantaranya: Ruddy Pakasi, Timmy Katoppo, Jerry
Sondakh, Herman Lahamendu, Hamri Manoppo, Kamajaya Al Katuuk, karel
Takumansang, dll.
Kecintaannya terhadap SPG
Kristen Kuranga Tomohon sangat luar biasa. Cukup lama Pelukis yang senang
menggarap obyek-obyek realis dan naturalis ini bersedia mengabdikan dirinya
sebagai guru bantu, bahkan seratus persen bersama Drs. Adrian Lagare mengawasi
anak-anak didik yang tinggal di Asrama. Kesempatan ini pula tidak
disia-siakannya. Tahun 1978 disamping aktif kuliah dan mengajar, Penyair yang
lincah bermain biola ini mendirikan Sanggar Kuranga dengan program latihan dan
bimbingan belajar melukis, menulis puisi, dan bermain teater. Hampis setiap
hari pada waktu senggang apalagi sore hari, Maner John (begitu kami
memanggilnya) sudah berada di Aula tempat makan sekaligus ruang belajar bersama
anak-anak asrama dan beberapa yang tinggal di luar asrama ikut bergabung di
Sanggar Kuranga ini. Di ruang Aula itulah segala kegiatan yang berbau kesenian,
ia ajarkan dengan begitu menarik. Tentu kami mengaguminya sekaligus
menghormatinya.
Satu hal yang tak bisa
dihalangi bagi seorang dosen yang pernah memberi kuliah Apresiasi dan kritik
seni, Gambar model, Seni Lukis dan Seni Monumental 2 Dimensi ini adalah,
keinginan hati dan kakinya berjalan di tempat-tempat yang diingininya. Penulis pernah diajaknya jalan kaki masuk
keluar kampong dibeberapa tempat, termasuk di Langowan. Membuat sketsa
diseputar pasar Amongena, persawahan padi di Winebetan, kampung Koyawas, terus
berjalan kaki ke kampong Karumenga dimana tempat pemandian air panas yang
mengalir dari telaga kecil yang dalam. Memasuki lokasi pemandian waktu itu,
seandainya maut telah berpihak pada kami, tanggal 28 Desember 1984 kami berdua
saat itu telah meninggal disambar petir. Beruntung kilatan petir yang jatuh
kurang lebih sepuluh meter di posisi kami berjalan kaki, tidak menyambar kami.
Sore itu kami berlindung sejenak di rumah salah satu penduduk menanti hujan
redah. Sehabis mandi, setelah masing-masing menikmati segelas kopi dan telur yang
direbus langsung pada air pas mandidi secara alamiah ini, kamipun pulang di
Sanggar Kuranga.
Budayawan Sulawesi Utara ini
pindah tinggal di Bengkel Seni Rupa Kleak IKIP Manado, ketika SPG Kristen
Kuranga Tomohon “meninggal dunia” akibat kebijakan pemerintah pusat menghapus
seluruh sekolah-sekolah gur yang ada di bumi persada Nusantara ini. Seperti
biasanya, hari-hari yang dilaluinya memang terisi penuh, sampai-sampai masalah
kesehatan dirinya terlalu sering diabaikan.
Di akhir tahun 1989 di Bengkel
Seni Rupa, Penyair ini mengalami sakit begitu parah. Pada bagian dada kanannya mengalami pembengkakan. “Rasa-rasanya mau mati
saja”, katanya. Saat itulah tercipta sederet puisi yang diberinya judul : “Simphoni
Kematian I, II, dan III. Puisi-Puisi ini penulis dapatkan berserakan ditumpukan
sampah yang ada di dalam gedung itu yang kerap kali juga di jadikan tempat kongkow
kongkow kawan-kawan penyair dan Dramawan Sulawesi Utara lainnya seperti:
Iverdixon Tinungki, Pietres Sombowadile, Posma Tambunan, Wempie Lontoh, dll.
Puisi-puisi tersebut seperti yang tertulis di bawah ini:
Simphoni Kematian
I
Aku siapa ya Bapa
kepembaringan kekal
rumah Mu
kuserah warna hitam putih
hidupku
ke kanvas-Mu
seperti keceriaan dalam
hidup
demikianpun ku songsong
mati
aku siap ya Bapa
lilinku tengah menyala
dan akan rampung mencair
dalam pergumulan
aku siap ya Bapa
dan cawan itu telah ku
teguk
cawan kehidupan
juga kematian
meja perjamuan Tuhan
aku siap Bapa
jemputlah aku
hamba terlalu letih
II
Sy…
sayap-sayap kelam
mengepak
bulan redup
lolongan panjang anjing merampas
sunyi malam
erangan kucing mencium
bau
nyawa yang terpetik
gelas kehidupan pecah
tak menetes
lagi pembaringan beku
III
Berawal dari debu
tegak di pilar cinta maha
Agung
terwujud sosok benih insani
dihembuskanNya kehidupan
indah lestari,…
tapi iblis memutus
temali cinta
merobek lukisan kisah Bapa
merampas
dan bergemalah simphoni
hitam
kematian
di bibir hidup
terangkai hingga padaku
bertahta
kusongsong saja
dengan hati seringan kapas
bersama Yesus di Firdaus
1989.
Ketika kami pulang dari
pameran Bersama Empat Pelukis Sulut (Johny Rondonuwu, Sonny Lengkong, Arie
Tulus, dan John Semuel) di Balai Budaya Jakarta bulan Juli 1990, sebundel
puisi-puinya yang sempat penulis kumpul sejak dari Sanggar Kuranga dan tinggal
bersama di Bengkel Seni Rupa itu, penulis serahkan padanya. Saat itu tampak di
wajahnya berbagai macam keheranan ketika lembar demi lembar puisi itu dibukanya
sambil mengakui, bahwa dirinya memang punya kekurangan dan kelalaian dalam hal
menyimpan dan merawat berbagai karya tulisnya. Hal ini lebih disebabkan ketika
selesai menulis puisi, Jonrond banyak kali Cuma membiarkannya begitu saja.
Kemungkinan besar tulisan dan sketsa-sketsanya yang lain, ada juga di tangan
sahabat-sahabat, karena pelukis, penyair, budayawan ini juga punya kebiasaan
membuat sketsa dan catatan-catatan kecil di lembar-lembar buku atau kertas yang
dilihatnya. Termasuk buku dan kertas orang-orang yang pernah ketemu, duduk dan
bercakap-cakap dengannya.
Sketsa Jonrond "Pemandangan di sekitar Gunung Lokon Kinilow
Sesudah Bencana 11 November 1991"
Melukis, membuat sketsa, pameran
dan menulis puisi dan artikel iannya sudah menjadi pekerjaan rutin seorang
Jonrond. Sketsa dan puisi puisinya pernah dipublikasikan diberbagai Koran yang
ada di Sulawesi Utara. Beberapa puisi lainnya sempat diterbitkan dalam sebuah
buku antologi puisi “Bukit Kleak Senja” pada tahun 1981 bersama Penyair Kamaja
Al Katuuk, Hamri Manoppo, dan Herman HB
(Lahamendu).
Bagi anggota GMKI cabang
Manado di era 70-an hingga 80-an pasti juga mengenalnya karena begitu aktif di
organisasi tersebut. Begitu pula di BKKNI dan Dewan kesenian provinsi Sulawesi Utara.
Apalagi di Fakultas Bahasa dan Seni Unima. Di fakulta ini semasa hidupnya
menjadi pembimbing dan penasehat pada kelompok teater yang yang ada. Seperti:
Teater Kompas, dan Teater Ungu.
Di hari-hari menjelang
kepergiannya, pada setiapkali dating di kampus berbukit Tonsaru Tondano memberi
kuliah, pak dosen ini mengaku sering kelelahan. Naik dua tiga anak tangga di
kantor fakultaspun ia mesti istirahat sejenak sambil menahan pinggangnya.
Kamis 11 Agustus 2005,
sementara ia ikut berpartisipasi bersama kelompok paduan suara gerejanya di
GMIM Malalayang I, tiba-tiba ia merasa lelah dan pingsan hingga
akhirnyamenghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Prof. Kandow
Malalayang Manado. Sabtu, 13 Agustus 2005 di Sanggar Jonrond Malalayang I,
sebuah sanggar sekaligus rumah tempat tinggal yang dirintisnya semasa bujang,
yang dulunya dipenuhi rimbunan pohon kayu, dimana air kuala begitu derasnya
mengalir. Di tempat itulah dilaksanakan ibadah ibadah menghantar jenazahnya
untuk dimakamkan di kampong kelahirannya.
Jonrond meninggalkan banyak
karya sketsa, lukisan, naskah drama, puisi dan karya ilmiah yang patut dijaga,
dipublikasikan untuk tetap dikenang.//@arts.
---------
Arie Tulus adalah muridnya sewaktu duduk di bangku SPG Kristen Kuranga Tomohon
dan mahasiswanya sewaktu kuliah di Jurusan Seni Rupa FKSS/FPBS IKIP Manado. Bekerja sebagai PNS/Dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan FBS Unima. Selain itu sebagai pekerja seni, dan penulis.
Sekarang ini tinggal menetap dan berkarya di SAT (Sanggar Arts Tomohon) Kakaskasen Tiga Lk V. Tomohon Utara, Kota Tomohon.
catatan: Tulisan ini pernah di publikan di koran Swara Kita pada hari Jumat, 11 Agustus 2006 mengenang setahun meninggalnya Mantan Dosen Seni Rupa di FBS Unima ini. kemudian di ramu kembali dan dimuat pada media online beritafotosulut.com ini untuk mengenangnya kembali.



Komentar
Posting Komentar