SURAT TERBUKA MASYARAKAT DESA KAYUWATU KABUPATEN MINAHASA



Surat Terbuka Masyarakat DESA KAYUWATU Kabupaten Minahasa
Kepada Panglima KODAM XIII Merdeka, dengan tembusan Komandan Kodim Minahasa, Komandan Koramil Kakas. Lampiran; laporan kronologis peristiwa pengrusakan. Jejak Sperak di Desa Kayuwatu.
Kepada Yth: Bapak Panglima Kodam XIII Merdeka di Manado.

Salam Sejahtera,
Bersama surat ini, kami masyarakat Desa Kayuwatu, Kecamatan Kakas, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, mengucapkan selamat atas berdirinya kembali KODAM XIII Merdeka, yang akan menjadi ujung tombak Pertahanan Negara dalam menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia, di propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.

Bersama surat ini juga, sehubungan dengan kasus pengrusakan Monumen Sperak/Meriam peninggalan Bangsa Portugis, yang sudah menjadi situs bersejarah desa sejak tahun1976, kami ingin mengkonfirmasikan beberapa hal:
 1. Apakah benar pihak TNI akan mengambilnya dari Desa Kayuwatu, seperti yang diutarakan beberapa aparat desa dan menjadi salah satu alasan mereka agar Sperak/Meriam ini jual saja daripada diambil oleh TNI. Yang kami indikasikan nama TNI yang dipakai untuk menekan masyarakat, demi kepentingan pribadi. (lampiran tentang Kronologis pengrusakan dan laporan pengaduan.)
2. Apabila benar ada kebijaksanaan TNI untuk mengambil/meminta benda bersejarah tersebut dari masyarakat , dengan alasan kultural, historis, masyarakat desa Kayuwatu dengan penuh rasa hormat, memohon kepada Tentara Nasional Indonesia, melalui Bapak Panglima, untuk meninjau kembali kebijaksanaan tersebut. Sebab, tersebut sudah sangat menyatu dengan perjalanan sejarah, kultural desa kami.(lampiran; Jejak Sperak di desa kayuwatu)
3. Kiranya Bapak Panglima dapat mengirimkan utusan ke desa kami, untuk mengklarifikasi secara terbuka soal ini melalui ibadat gereja misalnya.
Demikian surat konfirmasi dan permohonan ini kami buat dengan harapan Bapak Panglima memperhatikannya.
Kiranya Tuhan yang Maha Esa memberkati kita semua. Terima kasih.
Hormat Kami A.N
Masyarakat Desa Kayuwatu Peduli Budaya

Moudy Tulenan
Moudy Tumengkol
Recky Runtuwene
Rony K
Nuke Assa
Hendry Tulenan
Riando Warankiran
Ferry inkiriwang
Romi Kilala


KRONOLOGIS PERISTIWA DAN PELAPORAN.
Sabtu, 7 Januari 2017.
Tak ada sosialisasi, tak ada isu, tak ada cerita-cerita, tak ada kabar kabari, Sabtu, 7 Januari 2017, antara jam 12 sampai dengan jam 2 siang, terlihat Moddi ‘Buang’ Kilala (aparat desa), Refli Kaligis, Roger Tangkulung (Sekretaris Desa), serta 3 orang yang tak dikenal warga desa, disaksikan beberapa warga desa sedang melakukan pengoboran dengan mesin bor bertenaga listrik pada meriam/sperak tersebut. Ditegur oleh beberapa warga untuk tidak melakukan pengrusakan, namun dijawab oleh mereka bahwa ini perintah dari Pejabat Sementara Hukum Tua, Noldy Warankiran. Nanti, ketika mantan Hukum Tua Hentje Kilala yang kebetulan lewat dilokasi, menegur dan memerintahkan untuk menghentikan pengrusakan tersebut barulah mereka berhenti, dan langsung kabur menghilang.

Sayang, tiga orang yang tak dikenal warga berhasil membawa serbuk hasil pengeboran tersebut.
Sejak peristiwa itu masyarakatpun resah! Baik secara berkelompok maupun keluarga membicarakan soal pengrusakan sperak tersebut. Bahkan atas inisiatif sendiri beberapa kelompok maupun pribadi, mencari para pelaku pengrusakan tersebut untuk menegur secara keras atas tindakan mereka. Bersyukur sudah menghilang. Dan, para orangtua serta tokoh gereja begitu antisipatif menenangkan masyarakat agar hal-hal yang tak diinginkan tidak terjadi.

Sekitar jam 10 malam, tiga orang warga: Roy Tulenan, Mouddy Tumengkol, serta Hendry Tulenan pergi bertamu ke rumah Pjs. Hukum Tua untuk menanyakan pokok persoalan kenapa Sperak itu di bor, dirusak? Menurut keterangan Mouddy Tumengkol, Pjs Hukum Tua hanya menjawab bahwa ia tidak tahu menahu atas pengrusakan tersebut. 

Minggu, 8 Januari 2017.
Di depan jemaat Gereja Kristen Bahtera Injil Kayuwatu, ketika Pjs.Hukum Tua beserta sebagian aparat desa beribadat di gereja tersebut, ia menyatakan bahwa memang benar bahwa sperak tersebut sudah ditawar dan mau dibeli, tapi keputusan mau jual atau tidak, ia mengundang seluruh aparatur desa, BPD, dan tokoh-tokoh gereja untuk merapatkan.

Namun undangan rapat tersebut tak ditanggapi oleh seluruh tokoh-tokoh gereja, dan beberapa aparat desa/BPD. Menurut mereka, kalau RAPAT UMUM DESA yang terundang seluruh warga Desa mereka siap akan datang. Jangan nanti sudah meresahkan baru mau gelar rapat.

Sebagai Informasi: selama menjabat sebagai hukum tua dan 3 kali menjabat sebagai Pejabat Sementara Hukum Tua, baru 2 kali ia menggelar rapat umum desa, itupun di tahun-tahun awal sebagai Hukum Tua. Jadi, jangan heran, misalnya soal dana desa yang sudah 2 tahun bergulir, tak ada seorang warga desapun yang tahu persis berapa jumlahnya yang masuk di desa, dan dipergunakan untuk apa? Dibuat untuk proyek apa? Jadi, aturan pemerintah tentang tata cara penggunaan dana desa tak pernah diterapkan di Desa Kayuwatu! Silahkan aparat yang berwenang untuk terjun langsung ke Desa dan menanyakan ke setiap warga, apakah mereka mengetahui berapa dana desa yang masuk dan dipergunakan untuk apa dana desa tersebut? Catatan informasi ini sebagai undangan kepada instansi yang berwenang untuk datang secara terbuka ke desa Kayuwatu, agar catatan info ini tidak mengandung fiknah.

Usai bubaran Gereja, salah satu pelaku pengrusakan, Moddi ‘Buang’ Kilala, ketika ditegur oleh Femmie Tulenan (salah seorang cucu pelaku sejarah pemindahan sperak tersebut, Bertol Tulenan): memohon ampun, memohon maaf, ia hanya diperintahkan oleh Pjs. Hukum Tua. “Minta maaf kepada seluruh warga desa. Ngana pe tindakan sudah menyinggung perasaan masyarakat,” tegas anak bungsu dari George ‘Parangen’ Tulenan. Jawaban yang sama diberikan oleh Roger Tangkulung (salah seorang pelaku) kepada warga GMIM usai bubaran gereja, bahwa ia hanya menjalankan tugas yang diperintah oleh Pjs. Hukum Tua.

Sore hari, dipelopori Riando Warankiran (tokoh muda desa yang berbinis di Kota Makassar, kini Tonaas Wangko Laskar Manguni Indonesia Kota Makasar, yang masih kemanakan dari Noldy Warankiran), karena melihat situasi desa yang makin tak kondusif, didukung oleh Ferry Inkiriwang (mantan Hukum Tua) mengajak sekelompok kecil (keterwakilan keluarga saja) masyarakat untuk melapor sekaligus berkoordinasi dengan Kepolisian Polsek Kakas.

(beberapa aparat desa dan warga menyesalkan kenapa inisiatif pelaporan situasi desa bukan datang dari Pjs. Hukum Tua, tapi dari warga biasa. Andai hal-hal yang tak diinginkan terjadi, siapa yang bertangggungjawab. Merekapun teringat akan peristiwa ketika seorang buruan polisi (si botak-gembong curamor) yang biarkan oleh Pjs. Hukum Tua, berkeliaran bebas berbulan-bulan di desa sampai mempengaruhi beberapa muda mudi Kayuwatu terjebak dalam sindikat pencurian motor, yang sangat mempermalukan desa.)

Kepada rombongan, Kapolsek Bapak Tumanduk, yang didampingi Wakapolsek, Bapak Salangka, serta beberapa petugas, berterima kasih atas inisiatif warga yang datang untuk melaporkan situasi desa dan berkoordinasi soal pengrusakan sperak. Disarankan oleh Kapolsek, warga membuat laporan tertulis. Dan setelah berdiskusi sejenak, Kapolsek mengambil keputusan untuk memasang garis polisi dan memerintahkan Wakapolsek untuk segera memasangnya pada malam ini juga. Keputusan yang sangat tepat, yang terbukti dapat menenangkan warga.
Jam 8 malam, disaksikan warga yang memadati monumen sperak, usai memasang garis polisi, Wakapolsek, mengingatkan bahwa sperak ini milik masyarakat Kayuwatu. Karena sudah dipasang garis polisi, jangan ada seorangpun yang menyentuhnya. Ini sudah aturan. Pesan ini juga didengar oleh Pjs. Hukum Tua dan Sekretaris Desa.

Senin, 9 Januari 2017.
Tiga serangkai aparat desa, Petu Assa, Fonny Pelawiten, dan Bobby Saroingsong mulai gencar mengsosialisasikan secara informal tentang sperak lebih bagus dijual demi kesejahteraan rakyat. “Daripada dipajang-pajang tak berguna, lebih baik dijual untuk kesejahteraan rakyat. Kan bisa bangun gedung serba guna desa. Apalagi, pihak TNI, pihak Kodim sudah 2 kali ingin memintanya.”
Masyarakat pun menjawab: Kalau untuk kesejahteraan rakyat, bagaimana pertanggungjawaban upaya-upaya pencarian dana (kantin desa yang sudah lima tahun digelar, sumbangan-sumbangan dari beberapa tokoh masyarakat Minahasa, serta proposal-proposal yang sudah disebar keberbagai pihak), tidak pernah dipaparkan ke masyarakat kemajuannya. Pembangunan gedung serba guna diketuai oleh Fonny Pelawiten.

Soal permintaan TNI: Masyarakat curiga hal ini hanya ingin menakuti-nakuti rakyat. Sebab ketika ditanya, mana suratnya, dari kesatuan mana, personal siapa yang membawanya, mereka tak bisa menjawab!

Idealnya, menurut masyarakat, seperti diutarakan Romi Kilala, apabila betul ada permintaan seperti itu, dari instansi/intitusi manapun untuk meminta sperak tersebut, Pjs Hukum Tua mengundang masyarakat untuk membahasnya sekaligus menentukan sikap untuk menolaknya, bukan menjadi alasan untuk menjualnya dengan tidak melibatkan masyarakat. Saya bersyukur masyarakat beraksi. Yang saya bayangkan bagaimana kalau masyarakat tidak beraksi, hilanglah jejak sejarah desa, sekaligus saya tidak bisa membayangkan sanksi adat apa yang akan dialami para pelaku beserta aktor intelektualnya. Kalau sekarang, saya tantang: Jual jo kalau berani!

Untuk itu masyarakat akan membuat surat terbuka kepada Panglima Kodam XIII Merdeka, dengan tembusan kepada Komandan Kodim Minahasa dan Danramil Kakas, yang intinya mengkonfirmasi apakah benar pihak TNI berkeinginan untuk mengambil sperak tersebut, sekaligus menginformasikan bahwa masyarakat tidak menginginkan sperak itu berpindahtempat. Izinkan rakyat Kayuwatu merawatnya. Sekaligus, memohon ada pihak Provos/petugas Kodam untuk turun ke Desa Kayuwatu mengklarifikasi tentang persoalan tersebut. 

Selasa, 10 Januari 2017.
Tim kecil utusan warga membawa laporan aduan tertulis ke Polres Minahasa. Diterima langsung oleh Kasat Serse, Bapak Edy Kusnadi (maaf apabila terjadi salah penulisan nama). Arahan Kasat Serse, karena laporan aduan ini ditujukan ke Bapak Kapolres, tunggu saja petunjuk dari Bapak Kapolres. Tapi intinya, setiap laporan masyarakat ke polisi pasti akan ditindaklanjuti. Tim Kecil juga memohon dan mengusulkan, apabila memungkinkan gelar pemeriksaan dibuat di desa, mengingat para saksi adalah petani kecil. 

Rabu, 11 Januari 2017
Tiga serangkai aparatur desa makin gencar mengkampanyekan lebih baik dijual daripada diambil pihak TNI.
Juga berkembang kabar dari Roger Tangkulung, sang sekretaris desa, bahwa pengrusakan tersebut untuk kepentingan penelitian demi memastikan keaslian sperak tersebut. Beliau tidak tahu,atau pura pura tidak tahu,bahwa penelitian benda-benda purbakala yang pertass

Kamis, 12 Januari 2017
Kembali masyarakat resah. Dua personel aparat desa yang kebetulan bernama panggilan sama, JemTulenan, mengacak-ngacak garis polisi. Ditegur warga bahwa itu melanggar hukum, dijawab bahwa apa yang dilakukan atas perintah Pjs. Hukum Tua dan dengan alasan untuk dicat. Dan, lubang hasil pengeboran sudah ditutup dengan lem besi dan diganjal dengan sepenggal besi kecil dan ditutupi dengan cat hitam. Tindakan tersebut langsung dilaporkan oleh beberapa warga ke polisi. Riando Warankiran melalui telepon melaporkan hal itu ke Kasat Serse dan Wakapolsek Kakas.

Bagi masyarakat peristiwa pelanggaran garis polisi dan upaya menghilangkan barang bukti secara terang-terangan, akan menjadi ujian bagi polisi untuk menunjukkan kewibawaan sekaligus penerangan hukum bagi masayarakat. Sebab, masyarakat tahu melalui berita-berita di televisi, seorang presidenpun tak akan berani melanggar garis polisi apalagi berupaya menghilangkan barang bukti. Lubang yang sudah ditutupi merupakan obyek perkara (bukti pengrusakan) yang diadukan warga. 

Jumat, 13 Januari 2017
Beberapa oknum aparat yang sependapat dengan Pjs Hukum tua, termasuk tiga serangkai, mulai mengalihkan isu bahwa ini politik terkait pemilihan kepala desa. Warga tak menanggapi, bahkan menantang Pak Camat turun langsung secara terbuka ke desa mengecek kebenaran isu tersebut.
Tidak ada politik-politik di kasus ini. Ini soal sperak bukan pilkades. Saya ini simpatisan kristis dari Pejabat Sementara Hukum Tua Noldy Warankiran. Tindakan beliau soal sperak sangat menyinggung dan melukai hati rakyat Kayuwatu. Saya sependapat dengan Kak Recky Runtuwene, yang selalu mengingatkan untuk berani, prosudural, sesuai aturan, mempunyai data, serta tidak membawa-bawa atau menyerang masalah pribadi dalam mengungkapkan kritik. Tapi harus dilakukan dengan santun.

Yang kita kritisi bukan soal pribadi tetapi sistem yang dijalankan beliau, tegas Marlin ‘tg’ Mandey.
Toh, pada dasarnya torang semua baku-baku sayang. Cuma memang, beliau tak pernah menyediakan ruang bagi torang semua untuk tempat torang baku-baku inga, maka dari itu torang mengharapkan Pak Camat berinisiatif menggelar itu; Rapat Umum Desa. Langkah yang selalu diutarakan masyarakat apabila terjadi sesuatu di desa, namun selalu dijawab bahwa status Hukum Tua sekarang hanya Pejabat Sementara, kewenangan ada kepada Pak Camat!
Warga menunggu kerja keras, kerja cerdas dari polisi!

JEJAK SPERAK BERADA DI DESA KAYUWATU
Dari tuturan atupun cerita dari beberapa orangtua sekarang yang masih hidup yang merupakan saksi maupun pelaku sejarah ketika Sperak itu dipajang di desa, peristiwa budaya tersebut berawal dari sebuah mimpi kepada Oma Maci Kilala, yang mendapat pesan untuk memberitahukan kepada suaminya, Bertol Tulenan, agar memindahkan Sperak tersebut ke kampung. 

Maka pada tahun, 1976, diera kepemimpinan Hukum Tua Tarsan Mandey, para Tonaas desa, antara lain, Bertold Tulenan, Hein Kilala, Yosis Kilala, Parmenas Kilala, para tokoh desa, hamba Tuhan, para pemuda serta didukung seluruh warga mengadakan rembuk/rapat adat dan bersepakat untuk mengangkat sperak tersebut yang tergeletak tak terurus di pesisir timur pantai Minahasa di daerah ‘Ipus” (ekor tanjung), yang masih masuk wilayah kepolisian Desa Kayuwatu. 

Awalnya, karena kondisi alam yang ekstrem serta harus melalui pesisir pantai, proses pemindahan/pengangkatan sperak tersebut ke dalam Desa Kayuwatu, mengalami kesulitan. Namun setelah mengadakan upacara adat, tindakan-tindakan adat serta Ibadat inkulturasi, Sperak yang diyakini peninggalan Bangsa Portugis ketika menjaga pesisir timur dari perampok atau bajak laut yang mengganggu daratan maupun lautan Minahasa, berhasil digotong ke tengah-tengah Desa Kayuwatu.
Proses pengangkatan yang sudah mengandung nilai-nilai adat dan sudah diyakini sebagai peristiwa budaya desa inilah yang menjadi landasan kuat warga desa untuk terus menjaga sperak ini terus berada di dalam desa dan menolak apabila ada pihak-pihak lain yang ingin mengambilnya. Bagi warga desa, Sperak ini sudah menjadi bagian dari kearifan lokal, sejarah desa, identitas, serta icon wisata desa Kayuwatu. 

Dari catatan yang ada, memang sperak ini sudah beberapa kali mau diminta oleh beberapa instansi. Di era kepemimpinan Hukum Tua George ‘Parangen” Tulenan (1978-1984) sudah empat kali Propinsi Sulawesi Utara memintanya, tetapi ditolak oleh Sang Hukum Tua serta warga. Ketika ke lima kali pihak propinsi datang memohon untuk memintanya, hukum tua mengabulkan namun dengan satu pesan kalimat : “Silahkan ambil, tapi apabila terjadi sanksi adat kepada pribadi-pribadi yang mengangkatnya, jangan kembali lagi ke desa ini untuk mendapatkan penawarnya!”. Akhirnya, tak ada yang mau mengangkatnya dan tak pernah kembali lagi untuk memintanya.

Di era Hukum Tua Ferry Inkiriwang, Sperak ini digoda untuk dibeli dengan nilai rupiah yang tinggi, tapi dengan tegas ditolaknya, sebab “kalau kita jual, kita pe leher rakyat mo potong,” ujarnya. Ketika diadakan program ABRI Masuk Desa di Kayuwatu, setelah mengalami beberapa peristiwa adat kepada beberapa personal pasukannya yang berinteraksi dengan Sperak, sang komandan dari kesatuan zeni tempur inipun berpesan kepada masyarakat untuk terus menjaga dan merawat benda bersejarah tersebut. ABRI tidak akan mengambilnya. Biarlah barang ini tetap menghiasi desa. 


Pesan yang sama juga diutarakan oleh Jantje W. Sajouw, (sekarang Bupati Minahasa) ketika menandatangani prasasti peresmian pemugaran dan renovasi tatakan sperak yang terletak di tengah Desa Kayuwatu.”Tolong dirawat sebab Sperak ini mengandung nilai sejarah yang tak ternilai,” tutur mantan guru ini, yang ketika itu masih sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ucapan tersebut masih diingat oleh beberapa tokoh masyarakat dan prasasti tersebut sampai sekarang masing menempel di dinding penyanggah tatakan Sperak. Makanya, masyarakat terheran-heran, kenapa jejak aksi berbudaya dari sang bupati, berniat untuk dimusnahkan oleh sang Pjs. Hukum Tua.
Bagi warga, tindakan Pjs Hukum Tua merusak dan berniat untuk menjualnya, selain melanggar hukum, juga merupakan pelecehan atas program-program Bupati menjadikan Minahasa sebagai daerah tujuan wisata berbasis budaya.//

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rektor Unima Prof.DR.Julyeta Paulina Amelia Runtuwene,MS Punya Komitmen Berantas Korupsi

EKSPRESI ARTISTIK PANTAI MALALAYANG DAN KALASEI KARYA ARIE TULUS oleh Drs.Meyer Matey.M.Sn.

Martino Rengkuan,S.Pd.Terpilih Sebagai Ketua Pemuda Katolik Komcab Minahasa Periode 2017-2020